Saturday, November 1, 2008

Hikmah Perjalanan Haji

Photo bersama isteri di lantai atas masjidil haram

Menunaikan ibadah haji tidak hanya melaksanakan rukun Islam yang ke lima, seperti yang telah dinyatakan Al Qur’an:
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا
“Mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”(Ali Imram: 97)

Para ulama mazhab sepakat bahwa “istitha’ah” atau “mampu” menjadi syarat kewajiban haji, akan tetapi mereka berbeda pendapat arti kata “mampu”. Hadits telah menjelaskan definisi “mampu” seperti “Dengan bekal dan ada angkutan atau kendaraan”. “Rahilah” adalah ungkapan simbolik dari ongkos perjalanan, pergi ke Mekkah pergi pulang ke negaranya. Sedangkan “zad” (bekal) adalah kebutuhan berupa harta untuk pergi, makan, minum, sewa tempat dan uang untuk mengurus paspor dan lain-lain yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji. Bersamaan dengan itu, juga harus rasa ada aman baik untuk dirinya, hartanya maupun untuk kehormatannya dan keluarga yang ditinggalkannya. Juga cukup bekal untuk orang atau sesuatu yang menjadi tanggungannya.

Selain itu, standar mampu ini pada pelaksaannya tidak hanya ditentukan oleh sejumlah harta yang dimilikinya, melainkan kebulatan tekad dari yang bersangkutan cukup kuat atau tidak. Karena itu bisa terjadi pada kebanyakan orang yang secara lahiriyah masih dalam posisi ekonomi lemah dan susah, namun jalan lain Allah menentukan untuk bisa berhaji. Demikian juga sebaliknya pada kebanyakan orang banyak harta dari kalangan ekonomi mapan, namun boleh jadi kebulatan tekad dalam dirinya untuk berhaji belum ada, maka yang bersangkutan sering mencari jastifikasi bahwa belum ada panggilan (salah kaprah). Padahal Nabi Ibrahim as telah lama memanggil manusia untuk bisa berhaji sesuai perintah Allah seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an :
وأذن فى الناس بالحج يأتوك رجالاوعلى كل ضامر يأتين من كل فج عميق
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (Al Hajj :27).

Jadi yang belum ada bukanlah panggilan, melainkan niat dan kebulatan tekad dari dalam diri yang bersangkutan. Allah akan memberi hidayah kepada setiap orang yang hatinya terbuka untuk itu, dan sebaliknya Allah akan menutup hidayahNya kepada siapa yang hatinya tertutup untuk menerimanya.

Ibadah haji yang dijalani sesungguhnya diharapkan melahirkan jiwa-jiwa yang bersih dari setiap Muslim, melahirkan ketulusan hati dalam berkarya dan beramal baik yang berdimensi ritual maupun yang berdimensi sosial. Penghayatan dan pengamalan ajaran agama memang membutuhkan kebiasaan yang secara terus menerus dilakukan, diasah dan diasuh sebagai pembentukan “habit forming” pembentukan kebiasaan. Karena kesadaran tidaklah bersifat instan dan konstan, melainkan bergelombang ada pasang surutnya, kadang sadar dan kadang kumat (kadarkum), kadang lemah dan kadang kuat tergantung kondisi sekitarnya kondusif atau tidak.

Ibadah haji juga berpeluang untuk memahami karakter bangsa-bangsa lain sebagai makhluk-makhluk ciptaan Allah di dunia yang sedang melaksanakan ibadah haji. Semua makhluk Allah, termasuk planet-planet bumi tidak boleh keluar dari orbitnya harus sesuai dengan kodratnya. Mengitari Ka’bah yang disebut dengan thawaf harus memberi kesan keteraturan hidup, tidak boleh saling bertabrakan yang menggambarkan pula putaran bumi tidak boleh berhenti, seperti melihat orang thawaf yang tidak pernah istirahat mengitari Ka’bah.

Kapanpun anda pergi ke masjidil haram pasti ada orang yang sedang thawaf. Bumi pun demikian mengitari tatasurya tanpa henti. Jadi jelas yang disembah orang muslim bukanlah batu persegi empatnya melainkan yang menciptakan system peredaran bumi dengan segala keteraturannya, itulah yang disembah. Allah berfirman :
فليعبدوا رب هذا البيت، الذى اطعمهم من جوع وأمنهم من خوف.
"Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik Rumah ini (Ka’bah) yang telah memberi makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan dari ketakutan”. (QS. Quraisy : 3-4)

Tuhan Pemilik Al Bait yang menjamin kehidupan manusia dari kelaparan dan yang menjamin rasa aman. Ayat ini harus dibumikan atau diimplementasikan bagaimana seorang muslim meneladani sifat “rabba hadzal bait” yang berusaha memberi makan pada mereka yang lapar dan melindungi siapa saja yang merasa takut agar menjadi merasa aman, maka seusai melaksanakan haji harus memiliki tekad untuk berusaha mewujudkan kedua misi Al Qur’an di atas. Seandainya semua orang yang telah berhaji mau dan mampu meleladani sifat-sifat rabba hadzal bait di atas, maka betapa negri yang berpenduduk mayoritas muslim ini akan makmur dan sejahtera, tak akan ada lagi kemiskinan dan krisis ekonomi di Indonesia ini, sesuai cita-cita Al Qur’an baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa haji tidak bisa disetarakan dengan mereka yang membuat patung atau sesembahan lainnya yang kemudian mereka sembah sendiri. Konsep ini jelas-jelas tidak memiliki akar filosofis tentang wujud Tuhan Yang Esa. Walaupun demikian, bahwa keyakinan orang terhadap doktrin agamanya, sepenuhnya menjadi hak yang bersangkutan. Islam tidak punya ruang untuk memaksa siapapun agar menganut keyakinan yang sama. Ajaran Islam sama sekali tidak menganjurkan penganutnya untuk memaksa keimanan seseorang agar masuk kepada ajarannya, yang ada hanya kewajiban sebatas tanggung jawab merawat dan memupuk bagi mereka yang sadar akan Keesaan Allah. Karena doktrinnya sangat tegas, seperti pernyataan Al Qur’an “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”(QS. Al Kafirun:6). Iman yang dipaksa tidak akan melahirkan kesadaran mendalam dalam diri seseorang, sedangkan beragama membutuhkan adanya kesadaran yang lahir dari dalam diri seeseorang. Ajaran Islam tidak mempunyai target-target kuantitatif, tetapi lebih mementingkan kepada kualitas: “Ayyukum ahsanu amala” Siapa di antara kalian yang terbaik amalnya. (QS. Huud : 17)

Ibadah haji juga merupakan peluang agar yang bersangkutan merasakan ni’matnya berdo’a di tempat-tempat mustajab, seperti di multazam, di hijir Ismail, di maqam Ibrahim dan di Raudhah serta tempat-tempat lain yang mustajabah. Tamu-tamu Allah diberi kehormatan untuk bisa dan memanfaatkan sebaik-baiknya tempat-tempat dimaksud untuk berdo’a sepuas-puasnya sesuai kebutuhan yang diinginkan. Saat kekhusu’an kita berdo’a itulah kedekatan dengan Allah sungguh-sungguh dirasakan. Karena itu kadang-kadang orang yang berdo’a dengan tidak terasa meneteskan air mata penuh haru, dengan disertai perasaan takut dan penuh harap mengapa saya bisa sampai di sini, dan kapan lagi akan berada di sini. Ya Allah semoga anak cucu kami pun bisa mengalami hal yang sama, bisa memenuhi panggilanMu Ya Allah.

Perasaan inilah yang kemudian bisa mengantarkan kita berupaya sekuat tenaga meningkatkan derajat keberagamaan, meningkatkan ibadah kita, membuka diri dengan orang lain untuk bisa saling membantu sehingga tercipta suasana keakraban, dan persahabatan. Karena itu jangan lewatkan peluang berharga ini, sebab belum tentu peluang besar akan kembali kita raih di saat-saat mendatang. Apa jaminannya bahwa anda akan bisa hidup lima tahun atau sepuluh tahun mendatang. Sama sekali tidak ada jaminan dari siapapun dan dengan kecanggihan cara apapun. Karena di dalam hidup ini kita hanya menjalani probabilitas-probabilitas atau kemungkinan-kemungkinan yang telah ditentukan Allah.

Sisi lain dari peluang yang diharapkan oleh mereka yang berhaji adalah menyaksikan banyak pelajaran berharga yang bisa memberi efek mencairnya semangat beragama melalui perjalanan sejarah Nabi-nabi yang Agung, Ibrahim as, Ismail as, dan Rasulallah saw dengan segala kisah yang menyertainya. Saat kita menelusuri jalan menuju kota hijrah Nabi yaitu Madinah dengan jarak kurang lebih 650 km, kita bisa membayangkan bagaimana Nabi dan para sahabat berjuang mempertahankan iman dan merawat akidah. Dalam perjalanan jauh yang disertai kejaran musuh-musuh Nabi itu mengingtkan bahwa kita belum seberapa, kita pergi hajipun naik pesawat, ziarah ke Madinah juga dengan kendaraan ber AC. Bahkan saat ini sudah ada pesawat jamaah haji dari Indonesia langsung ke Madinah tanpa melalui Jeddah. Coba kita berpikir dan membuka mata lebar-lebar agar bisa menangkap arti, hikmah dan makna histories yang diharapkan bisa berimplikasi terhadap diri kita untuk mengambil bagian-bagian apa saja yang bisa kita lakukan dalam perjuangan demi tegaknya syi’ar agama Allah (Nur Allah) di bumi negri masing-masing sekembalinya ke tanah air. Kenapa perjalanan ritual ibadah haji yang kita lakukan di tanah suci, sampai di tanah air menjadi pudar, seperti terlebih di saat jamaah haji selama berada di Madinah, shalat lima waktu tidak pernah ketinggalan berjamaah di masjid Nabawi, begitu sampai di tanah air hanya beberapa hari saja shalat berjamaah di masjid setelah kedatangan dari haji, selebihnya tidak terjadi lagi melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah di masjid. Ini kan keliru, yang baik adalah apa yang telah dikerjakan di saat melaksanakan ibadah haji, dilanjutkan di tanah air, inilah yang akan membuahkan haji mabrur.

Demikian Al Qur’an mengingatkan mereka yang berhaji “Liyasyhadu manafi’a lahum” agar mereka bisa menyaksikan hal-hal yang berguna dan bermanfa’at. Apa yang kita lihat dan saksikan tidak hanya yang bersifat histories, tetapi banyak pula peristiwa-peristiwa aneh tapi nyata baik berupa balasan kebaikan maupun balasan keburukan bagi yang siapa saja yang tidak menghiraukan larangan “rafats, fusuq dan jidal.

Kesaksian orang terhadap peristiwa-peristiwa aneh tapi nyata di tengah-tengah pelaksanaan ibadah haji turut mempertebal keimanan dan keyakinan akan kebesaran Allah pemilik langit dan bumi. Itulah sebabnya dalam bertalbiyah kita berucap “Laka Walmulk”dan pada saat yang sama kita tidak boleh mensekutukanNya sambil berucap “La syakika laka”.

Talbiyah yang dibaca disaat akan memulai pekerjaan haji mengisyaratkan adanya pembersihan jiwa dari segala kekufuran ni’matNya, kebersihan jiwa dari sifat rasa kesombongan dan kebersihan jiwa dari adanya kekuasaan-kekuasaan lain selain Allah. Orang-orang yang hadir menjadi tamuNya tidak diperkenankan sedikitpun membawa embel-embel status yang biasa kita rasakan saat di tanah air. Kehadiran kita di tanah suci menjadi “dhuyuufurrahmaan” tamu-tamu Allah yang hanya dengan mengenakan pakaian ihram. Tubuh kita hanya terbalut oleh kain putih yang tidak berjahit, persis seperti kain kafan yang biasa dipakai oleh orang-orang yang hendak keluar dari alam dunia (mati). Ini berarti sesekali orang hidup harus belajar keluar dari hiruk pikuk kehidupan dunia yang penuh tipu daya muslihat menuju ke hadirat Allah SWT. Jika semua hal itu kita dapat laksanakan dengan baik dan mengaharap ridho Allah SWT, Insya Allah mendapatkan haji mabrur. Amin. (oleh Ahmad Buwaethy)