“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan " jidal" bantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”.Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah,dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah: 197).
Rafats
Didalam kitab Ibnu Katsir dijelaskan pengertian rafats pada ayat di atas ( falaa Rafatsa, " maka tidak boleh rafats"), artinya: barang siapa yang berihram untuk haji dan umrah, maka hendaklah ia menghindari rafats, yaitu hubungan badan. Diharamkan pula melakukan hal-hal yang menyebabkan rafats seperti pelukan, ciuman,dan semisalnya,demikian juga membicarakannya dihadapan para wanita. IbnuJarir meriwayatkan dari Yunus bahwa Abdullah bin Umar pernah mengatakan."Ar Rafats"berarti mencampuri isteri dan membicarakanhalitu dengan laki-laki maupunperempuan, jika yang demikian itu diucapkan dengan lisan mereka. Atha' bin Ali Rabah, mengatakan,"Ar-rafats berarti jima' (senggama) dan selain itu,misalnyaucapan kotor."lebih lanjutAtha' menuturkan"Mereka memakruhkan kata sindiran yang kotor ketika sedang berihram".
Dan Thawus mengatakan,"Yang dimaksud dengan Rafats adalah seorang laki-laki mengatkan kepada isterinya, jika aku telah bertahalul,aku akan mencampurimu. Dan Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,"Ar rafats berarti mencampuri isteri, mencium,atau kedipan mata, serta mengucapkan kata-kata kotor kepadanya.
kesimpulanya :
”Rafats" adalah mencampuri isteri atau perkataan tidak senonoh, mengandung unsur kecabulan (porno), senda gurau berlebihan yang menjurus kepada hal-hal porno. Setiap orang yang berhaji, dilarang melakukan "rafats"
Fusuq
Kata-kata ("walaa fusuuqa", dan janganlah berbuat kefasikan). "Muqsimdan beberapaulama lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas," yaitu segala perbuatan maksiat". Sedangkan ulama lainnya menuturkan,"yang dimaksud al-fusuq disini adalah caci maki. Demikian dikatakan Ibnu Abbas dan Umar.Mereka ini berpegang kepada hadist shahih, Rasulullah SAW bersabda : "Mencaci maki orang muslim itu merupakan suatu kefasikan dan memeranginya merupakan kekafiran." Sedangkan Ad-Dhahhak mengatakan,"al-fusuq berarti memberi gelar buruk. Yang benar adalah mereka yang mengartikan al-fusuq disini segala bentuk kemaksiatan, sebagaimana Allah melarang kezaliman pada bulan-bulan haji, meskipun kezaliman itu sendiri dilarang sepanjang tahun,hanya saja pada bulan-bulan haji hal itu lebih ditekankan lagi
Jidal
walaa jidala filhaj,"dan tidak boleh berbantah-bantahan pada masa mengerjakan haji". Mengenai ini terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama: Allah telah menjelaskan hal itu secara tuntas dan sempurna, sebagaimana Waqi' menceritakan, dari Al-'Ala' bin Abdul Karim aku pernah mendengar mujahid membaca walaa jidala filhaj seraya mengatakan, Allah telah menjelaskan bulan-bulan haji yang didalamnya tidak terdapat berbantah-bantahan dikalanagan umat manusia. Masih mengenai firmanNya ini, Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: "Yang dimaksudkan adalah bertengkar dalam berhaji"
Pendapat kedua: yang dimaksud dengan berbantah-bantahan disini adalah perselisihan. Ibnu Jarir meriwayatkan,dari Abdullah bin Mas'ud, yang dimaksud adalah jika engkau mencaci sahabatmu sampai engkau membuatnya marah.
"Fusuq" dan "jidal" mungkin relatif mudah dihindari. Namun, "rafats" cukup sulit. Karena selalu muncul setiap saat, tanpa disadari. Mulai dari satu kata (ucapan), kemudian berkembang ke sana ke mari tanpa kendali. Menjadi "ghibah" (membicarakan orang lain), "namimah" (adu domba), dan fitnah (mengatakan sesuatu dari atau bagi orang lain tanpa fakta yang jelas).
Untuk mencegah ketiga perbuatan tersebut, para jemaah haji harus mulai menjaga lisan masing-masing. Kata Nabi saw., "salamu insan fi hifdzil lisan". Keselamatan manusia terletak pada perkataannya. Jika tidak ada yang perlu dikatakan, lebih baik diam. Rasulullah saw. bersabda pula, "Ashamtu hikmah" (diam itu mengandung hikmah).
Untuk mencegah ketiga perbuatan tersebut, para jemaah haji harus mulai menjaga lisan masing-masing. Kata Nabi saw., "salamu insan fi hifdzil lisan". Keselamatan manusia terletak pada perkataannya. Jika tidak ada yang perlu dikatakan, lebih baik diam. Rasulullah saw. bersabda pula, "Ashamtu hikmah" (diam itu mengandung hikmah).
Imam al Gazhali dalam kitabnya yang termashur "Ihya Ulumuddin", menguraikan 20 (dua puluh) bahaya yang akan ditimbulkan oleh lisan (yang diucapkan sembarangan), yang jika dilakukan para jemaah haji, akan termasuk kategori "rafats", bahkan "jidal". Beberapa di antaranya, dapat disimak dan direnungkan sebagai berikut:
1. Berkata-kata yang tidak berguna. Menghabiskan waktu untuk membicarakan berbagai hal yang sama sekali tidak mengandung manfaat. Padahal waktu dapat dianggap sebagai modal pokok hidup manusia untuk beramal saleh. Sekarang, waktu amat berharga itu dibuang-buang hanya untuk menyampaikan atau mendengarkan omongan-omongan tak bermanfaat, seperti senda gurau, berkhayal, mengada-adakan sesuatu agar enak diucapkan dan didengarkan, dan hal-hal negatif lainnya.
2. Berlebih-lebihan dalam berkata. Memanjangkan kata-kata dan kalimat untuk maksud yang pendek agar dianggap indah dan fasih. Satu persoalan yang dapat diungkapkan dengan satu kalimat terdiri atas tiga empat kata, melebar menjadi sepuluh dua puluh kata, bahkan sepuluh dua puluh kalimat. Kata orang Sunda, "panjang catur pondok maksud". Kelebihan lisan ini dianggap membahayakan karena membosankan orang yang mendengar, yang berakibat mengundang kekesalan dan kebencian. Juga kemungkinan menimbulkan salah pengertian. Rasulullah saw. mengingatkan, berbahagialah orang yang menjaga kelebihan lisannya, dan menginfakkan kelebihan hartanya (riwayat Imam Baihaqi).
1. Berkata-kata yang tidak berguna. Menghabiskan waktu untuk membicarakan berbagai hal yang sama sekali tidak mengandung manfaat. Padahal waktu dapat dianggap sebagai modal pokok hidup manusia untuk beramal saleh. Sekarang, waktu amat berharga itu dibuang-buang hanya untuk menyampaikan atau mendengarkan omongan-omongan tak bermanfaat, seperti senda gurau, berkhayal, mengada-adakan sesuatu agar enak diucapkan dan didengarkan, dan hal-hal negatif lainnya.
2. Berlebih-lebihan dalam berkata. Memanjangkan kata-kata dan kalimat untuk maksud yang pendek agar dianggap indah dan fasih. Satu persoalan yang dapat diungkapkan dengan satu kalimat terdiri atas tiga empat kata, melebar menjadi sepuluh dua puluh kata, bahkan sepuluh dua puluh kalimat. Kata orang Sunda, "panjang catur pondok maksud". Kelebihan lisan ini dianggap membahayakan karena membosankan orang yang mendengar, yang berakibat mengundang kekesalan dan kebencian. Juga kemungkinan menimbulkan salah pengertian. Rasulullah saw. mengingatkan, berbahagialah orang yang menjaga kelebihan lisannya, dan menginfakkan kelebihan hartanya (riwayat Imam Baihaqi).
Hal itu ditegaskan oleh Allah SWT, dalam Q.S. Al Mudatsir:45, "Kita semua menyukai percakapan kosong bersama orang-orang bercakap kosong pula (hingga masuk neraka Saqr).
Untuk mengobati bahaya lisan, yang akan melindungi jemaah haji dari "rafats", "fusuq" dan "jidal", Imam Gazhali menyarankan, agar lidah dibiasakan melafalkan "wirid", baik ayat Alquran, doa, maupun "Asmaul Husna" (nama-nama Allah yang terbaik). Memperbanyak "wirid" pada setiap waktu, tempat, dan kesempatan, akan menjadikan lidah terbiasa mengucapkan segala sesuatu yang baik dan hati menjadi lembut. Mudah menerima nasihat dari orang lain, sanggup memberi nasihat kepada orang lain dengan kata-kata baik dan menyenangkan pendengarnya, serta memperbanyak kerja (tindakan) daripada perkataan. Sebagaimana dikatakan para ualama: af'alul hal afsahu min lisanul qaul. Mengerjakan sesuatu yang nyata, lebih indah daripada mengucapkan kata-kata.
Untuk mengobati bahaya lisan, yang akan melindungi jemaah haji dari "rafats", "fusuq" dan "jidal", Imam Gazhali menyarankan, agar lidah dibiasakan melafalkan "wirid", baik ayat Alquran, doa, maupun "Asmaul Husna" (nama-nama Allah yang terbaik). Memperbanyak "wirid" pada setiap waktu, tempat, dan kesempatan, akan menjadikan lidah terbiasa mengucapkan segala sesuatu yang baik dan hati menjadi lembut. Mudah menerima nasihat dari orang lain, sanggup memberi nasihat kepada orang lain dengan kata-kata baik dan menyenangkan pendengarnya, serta memperbanyak kerja (tindakan) daripada perkataan. Sebagaimana dikatakan para ualama: af'alul hal afsahu min lisanul qaul. Mengerjakan sesuatu yang nyata, lebih indah daripada mengucapkan kata-kata.
Wallahu a'lam bishawab.
No comments:
Post a Comment