Tanggal 13 Dzulhijah 1427 H merupakan hari terakhir bagi jamaah haji untuk melaksanakan proses melontar. Ba’da Subuh, ketua rombongan kembali mengingatkan persiapan selesai sholat subuh akan dilaksanakan pergi melontar kemudian diminta para jemaah untuk menyiapkan barang-barang bawaan karena diperkirakan pukul 11.00 was, Bus yang membawa jamaah ke Mekkah sudah siap. Pelaksanaan waktu melontar setiap rombongan memang tidak sama, hal ini didasarkan atas inisiatip ketua rombongan, termasuk di kloter kami yang terdiri dari beberapa KBIH (Ar Raudah, Siti Khadijah, Qalbun Salim, dan Muzdalifah). Kelompok Ar Raudah waktu melontarnya ba’da dhuhur (shalat dhuhur di perkemahan Mina kemudian melontar dan kembali lagi ke perkemahan baru berangkat ke Mina menggunakan Bus yang sudah disiapkan), kalau kelompok Siti Khadijah, pergi melontar ba’da subuh, kembali lagi ke perkemahan di Mina lalu ke Mekkah menggunakan Bus yang sudah disiapkan. Sedangkan kelompok Qalbun Salim, bergerak melontar sebelum subuh kemudian kembali ke perkemahan, sholat subuh berjamaah di perkemahan di Mina lalu ke Mekaah menggunakan Mobil Elf (karena kelompok ini jumlahnya kalau tidak salah 13 orang sehingga tidak menggunakan Bus, kelompok KBIH ini kabarnya ada hubungannya dengan networkingnya A’a Gym). Sedangkan 4 (empat) jamaah termasuk aku dan isteri adalah anggota jamaah mandiri yang tidak ikut KBIH, namun karena jumlah kloter kurang sehingga kami dimasukkan untuk menggenapkan jumlah 325 orang jamaah yang terbang dalam kloter-03 embarkasi Palembang. Hanya aku dan isteri yang memilih untuk tidak bergabung dalam salah satu kelompok KBIH dalam pelaksanaan melontar maupun kegiatan haji, kecuali kalau sholat berjamaah, qurban ataupun ziarah. Termasuk hari ini yang merupakan hari terakhir melontar kami, aku dan isteri setelah mengemasi barang-barang bawaan ikut menunggu datangnya Bus yang menjemput rombongan. Aku menitipkan barang bawaan kami ke salah satu jamaah haji dan mertua abangku. Begitu Bus tiba sekitar pukul 10.30 was, aku menaikkan barang bawaan ke kursi paling belakang mengambil jatah 2 seat kami. Setelah dirasa cukup maka pukul 11.00 was aku berpamitan dengan jamaah yang ada kalau kami akan berangkat melontar sekarang. Tidak ada barang yang kami bawa kecuali bekal kurma, air mineral dalam botol, buah apel. Didalam perjalanan kami menyusuri terowongan Mina, jamaah yang akan melontar masih cukup besar namun semangat mereka luar biasa seakan sebagai pahlawan-pahlawan perang di medan laga, jamaah meneriakkan takbir, tahmid dan tahlil sepanjang jalan menggema didalam terowongan Mina. Kamipun ikut alunan takbir mebesarkan asma Allah. Sesampainya diujung terowongan Mina yang terakhir, aku lihat jam belum menunjukkan waktu Shalat dhuhur. Aku bilang ke isteri kalau sebaiknya kita istirahat terlebih dahulu sambil menunggu waktu shalat dhuhur, karena kalau dilajutkan maka kita akan melontar sebelum waktu zawal (sebelum waktu tergelincir matahai). Akhirnya kami menepi dan berteduh di shelter telpon cellular /tower BTS, sambil mengamati arus jamaah yang terus bergerak menuju jamarat. Berbagai bendera dan tulisan yang mereka usung yang merupakan ciri dari kelompok-kelompok jamaah, ada yang dari Indonesia, Turkey, dll. Didekat tempat istirahat kami ada seorang laki-laki berkebangsaan Pakistan yang sedang membaca Al Qur’an, aku coba berkomunikasi dengan dia, dan sekaligus menanyakan arah Qiblat. Dia tunjukkan arahnya saat itu dan waktu shalat belum masuk katanya. Lima belas menit berlalu, orang Pakistan tadi memberi isyarat kalau waktu dhuhur sudah tiba. Kami melakukan sholat berjamaah dimana aku dan isteri manjadi makmum, Sholat dhuhur qasar (dua rakaat) tanpa di jama’ dengan sholat ashar. Selesai sholat dan berdo’a kami melanjutkan perjalanan ke jamarat, namun kurang lebih 100 meter aku lihat jamaah haji sedang melakukan sholat dijalan, ternyata arah kiblat mereka berbeda dengan arah kiblat ketika kami sholat tadi. Aku jadi berpikir kalau arah kiblat kami tadi pasti salah, karena jamaah yang kulihat ini sholat dengan dijaga oleh aparat keamanan sehingga kalaulah arah kiblat mereka salah, petugas akan menegur mereka untuk membetulkan arah kiblat yang betul. Akhirnya aku mengajak isteri untuk mengulangi sholat dhuhur kami dengan berjamaah di jalan itu. Baru setelah selesai kami meneruskan perjalanan ke jamarat, dengan jarak tempuh dari tempat sholat sekitar 1 km lagi, dan ketika mendekati mulut area jamarat aku mengajak isteri untuk mengambil area melontar di bawah (saat itu area melontar yang baru 2 lantai dari 5 lantai yang direncanakan pemerintah Saudi). Aku kasih tahu agar isteri menyiapkan batu untuk melontar ketika berjarak beberapa meter lagi ke jumrah Ula.
Kembali ke Mekkah
Tempat jumrah
Aku berada diposisi depan, isteri menempel dibelakangku kemudian aku menerobos masuk mendekat jamarat ula dari sisi tengah, sedikit demi sedikit mendekati jumrah menggantikan posisi jamaah yang sudah selesai melontar. Setelah berada dibibir jumrah dengan tenang kami melontarkan satu persatu batu yang kami bawa dimana setiap satu batu aku teriakkan takbir, mengagungkan asama Allah…Allahu Akbar, mengakui kebesaran Allah dan meyakini bahwa semua ciptaannya tunduk atas kuasaNya, Semoga Syaitan menjadi terhina dengan semakin tebalnya rasa keimanan ini. Posisi isteri disebelah kananku. Aku dan isteri memang berusaha untuk membidik dinding jumrah dibagian tengah, aku teringat pesan salah satu paman isteri ketika bincang-bincang waktu kami akan berangkat menunaikan ibadah haji ini, beliau berpesan usahakanlah mengambil posisi tengah karena diposisi itulah Insya Allah posisi jamarat dibangun, hal ini memang tidak ada hubungannya dengan sah tidaknya melontar namun kamu pasti merasakan kepuasan tersendiri bisa melaksanakan setiap amalan haji dengan sempurna.begitu nasehat beliau. Ya..karena tidak ada hubungan dengan hal-hal yang terlarang dalam manasik, akupun mengikuti anjuran itu karena memang suasananya memungkinkan untuk itu, kalaulah hal itu terlalu sulit maka akupun tidak terlalu mengejar anjuran tersebut. Tetapi memang yang aku rasakan berbeda, diposisi center lebih khusu’ melontarkan satu persatu batu yang kubawa. Kalau disisi pinggir aku perhatikan jamaah yang melontar kesannya terlalu terburu-buru seperti orang yang ketakutan, takut akan terjadi dorongan atau apalah aku juga ngga’ ngerti tapi kesannya pingin cepet selesai melontar. Mereka melontarkan batu seperti muntahan peluru dari senapan magazine...duk duk duk. Kalau aku melontar setelah batu berada diujung tangan aku angkat kemudian aku lontarkan dengan teriakan Allahu Akbar sambil diresapi keagungan Allah itu, dimana memang Allahlah zat yang maha besar. Tidak perlu kita emosi melemparkan batu seolah-olah kita sedang melempar syaitan disitu, yang diperintahkan Allah adalah menegakkan dzikir di jamarat (tidak ada do’a do’a tambahan selama melontarkan batu-batu tersebut), setelah satu batu selesai dengan sempurna baru dilanjutkan dengan melontarkan batu berikutnya, satu persatu dengan tenang sampai ke tujuh batu habis.
Selesai melontarkan 7 butir batu di jumrah Ula, aku menarik isteri untuk menjauh dari jumrah ula untuk berdo’a sejenak diujung jumrah ula, karena posisi diujung merupakan tempat yang aman dari lalu lalang jamaah yang akan melontar lanjutan ke jamrat Wusta. Hal serupa kami lakukan melontar di jumrah Wusta, diteruskan dengan berdo’a lalu lanjut ke jumrah Aqobah dan dari jumrah Aqobah aku dan isteri menuju keluar jalan arah ke Haram karena setelah melontar di jumrah Aqobah tidak dianjurkan berdo’a. Aku lihat banyak jamaah haji yang melontar tidak melaksanakan dan menyempatkan diri untuk berdoa’ ketika selesai melontar padahal Rasulullah melakukan hal ini. Kami mulai bergerak menuju masjidil haram, disepanjang jalan banyak yang memberikan sodaqah makanan dan air mineral, sampai-sampai kami menolak pemberian tersebut karena berat membawanya. Sampah-sampah berserakan disepanjang jalan, aku pikir sungguh berat pekerjaan pemerintah Arab Saudi untuk membersihkan sampah-sampah ini.
Selesai melontarkan 7 butir batu di jumrah Ula, aku menarik isteri untuk menjauh dari jumrah ula untuk berdo’a sejenak diujung jumrah ula, karena posisi diujung merupakan tempat yang aman dari lalu lalang jamaah yang akan melontar lanjutan ke jamrat Wusta. Hal serupa kami lakukan melontar di jumrah Wusta, diteruskan dengan berdo’a lalu lanjut ke jumrah Aqobah dan dari jumrah Aqobah aku dan isteri menuju keluar jalan arah ke Haram karena setelah melontar di jumrah Aqobah tidak dianjurkan berdo’a. Aku lihat banyak jamaah haji yang melontar tidak melaksanakan dan menyempatkan diri untuk berdoa’ ketika selesai melontar padahal Rasulullah melakukan hal ini. Kami mulai bergerak menuju masjidil haram, disepanjang jalan banyak yang memberikan sodaqah makanan dan air mineral, sampai-sampai kami menolak pemberian tersebut karena berat membawanya. Sampah-sampah berserakan disepanjang jalan, aku pikir sungguh berat pekerjaan pemerintah Arab Saudi untuk membersihkan sampah-sampah ini.
Masjid Jami' Bin baaz si Ajiziyah
Mendekati wilayah Azijiyah (didepan masjid jami' Bin Baaz), kami menyempatkan beli kacang dijalan, pingin nyobain kacang Arab, kacang goreng yang nampaknya tidak digoreng dengan minyak tapi dengan pasir. Setelah melewati dua terowongan dari Azijiyah ke Mekkah, kami tiba dihalaman masjidil Haram. Isteri sudah tampak kelelahan, aku coba terus menghibur, dan menguatkan mentalnya (wajar memang perjalanan yang sangat melelahkan sampai dengan saat ini, namun kepuasan mampu istiqomah melaksanakannya menutupi rasa capek.
Kembali ke Mekkah
Sampai ditempat angkot yang biasa cari penumpang, kami tidak menemukan tawaran dari sopir kea rah Hafair, semua sopir meneriakkan Jeddah, Jeddah, Jeddah……..semua menawarkan jasa ke kota Jeddah. Celaka..pikirku padahal kaki sudah berat untuk diayunkan dan jarak dari al Haram ke makhtab kami masih cukup jauh +/- 1300 meter lagi. Setelah pasti tidak ada kendaraan umum dan kami memutuskan untuk berjalan kaki lagi, dengan sabar akhirnya kami menyusuri jembatan dan jalan menuju Hafair, dengan tertatih-tatih akhirnya tiba juga kami ke makhtab. Aku mendekat receptionist untuk mengambil kunci ternyata didalam kotak kunci sudah tidak ada kunci kamar kami. Pasti sudah ada orang dikamar. Kami masuk ke lift yang Alhamdulillah langsung dapat (maklum kalau hari biasa untuk naik lift harus ekstra sabar karena rebutan), dan tiba di kamar langsung merebahkan badan di tempat tidur. Di kamar sudah ada ibu mertua abangku yang katanya lagi demam, sedangkan sang suami sedang melakukan sa’i yang tertinggal karena tidak sanggup menyelesaikan waktu bersama kami sebelumnya. Kalau jemaah haji yang lain ada yang bergerak perorangan ke Haram untuk menyelesaikan tawaf ifadah, dan sa’i ada juga yang memilh malam hari nanti.
Sekitar 10 menit kemudian, aku mandi membersihkan diri agar lebih segar, menikmati semburan air hangat dari kran (maklum selama pelaksanaan ibadah haji, mandinya tidak sepuas dimakhtab karena dinginnya minta ampun, terkadang malah ngga’ mandi). Kemudian isterikupun mandi. Dan kami menunggu waktu ashar sambil membuat minuman sereal hangat.
Ketika adzan ashar berkumandang, aku dan isteri memutuskan untuk sholat di masjid dekat makhtab, mengingat rasa capek yang masih belum menunjukkan recovery. Nanti maghrib aja kita ke Haram kataku ke isteri. Ya.. perjalanan tanazul kami dalam 4 (empat) hari ini memang luar biasa menguras tenaga, benarlah kata orang tua dan orang-orang yang sudah menunaikan haji, Berhajilah ketika masih muda usia, karena amalan haji memang banyak membutuhkan tenaga/phisik yang prima. Anda tidak bisa membayangkan jika berhaji harus menggunakan kursi roda atau dituntun orang lain, kenikmatan yang anda dapatkan pasti berbeda, karena setiap aktifitas anda tergantung dari orang lain, bukan anda yang menentukannya sendiri. Alhamdulillah Allah telah memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa datang ke tanah suci selagi usia masih muda dan kesehatan masih baik, sungguh suatu nikmat yang luar biasa yang Allah karuniakan kepada kami.
Sekitar 10 menit kemudian, aku mandi membersihkan diri agar lebih segar, menikmati semburan air hangat dari kran (maklum selama pelaksanaan ibadah haji, mandinya tidak sepuas dimakhtab karena dinginnya minta ampun, terkadang malah ngga’ mandi). Kemudian isterikupun mandi. Dan kami menunggu waktu ashar sambil membuat minuman sereal hangat.
Ketika adzan ashar berkumandang, aku dan isteri memutuskan untuk sholat di masjid dekat makhtab, mengingat rasa capek yang masih belum menunjukkan recovery. Nanti maghrib aja kita ke Haram kataku ke isteri. Ya.. perjalanan tanazul kami dalam 4 (empat) hari ini memang luar biasa menguras tenaga, benarlah kata orang tua dan orang-orang yang sudah menunaikan haji, Berhajilah ketika masih muda usia, karena amalan haji memang banyak membutuhkan tenaga/phisik yang prima. Anda tidak bisa membayangkan jika berhaji harus menggunakan kursi roda atau dituntun orang lain, kenikmatan yang anda dapatkan pasti berbeda, karena setiap aktifitas anda tergantung dari orang lain, bukan anda yang menentukannya sendiri. Alhamdulillah Allah telah memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa datang ke tanah suci selagi usia masih muda dan kesehatan masih baik, sungguh suatu nikmat yang luar biasa yang Allah karuniakan kepada kami.
Kegiatan selanjutnya adalah menunggu kepulangan ke tanah air dengan mengisi kegiatan sehari-hari tetap dengan ibadah, Catatan Perjalanan haji selama mengisi waktu menunggu kepulangan ke tanah air dapat Anda ikuti disini.
No comments:
Post a Comment