DANA TALANGAN HAJI
Oleh
Ustadz Dr. Erwandi Tirmidzi, MA
Setiap Muslim memendam kerinduan dan keinginan kuat untuk berziarah ke Baitullahil ‘atiq dalam rangka menunaikan rukun Islam yang ke-5. Ini merupakan bukti kebenaran firman Allah :
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ
Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat yang didatangi. [Al-Baqarah/2: 125]
Demi pelepasan rindu ini, berbagai cara dilakukan oleh kaum Muslimin ; ada yang menyisihkan sebagian hartanya sedikit demi sedikit agar terkumpul harta yang cukup untuk biaya ongkos naik haji. Dewasa ini ada sebuah usaha yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah untuk mengambil alih penghimpunan dana dengan cara memberikan dana talangan haji. Produk ini dilegalkan oleh fatwa DSN NO:29/DSN_MUI/VI/2002 tentang pembiayaan pengurusan haji lembaga keuangan syariah.
Namun dalam prakteknya masih terdapat kritikan dari para Ulama yang lain mengenai produk ini.
Kepastian akan kehalalan atau tidaknya produk ini sangat berhubungan dengan kemabruran haji orang yang mendapatkan dana produk ini.
Diriwayatkan oleh Tabrani, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ آللَّهَ تَعَاَلَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Sesungguhnya Allah adalah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. [HR. Muslim]
Untuk menjernihkan permasalahan ini, mari kita lihat tinjauan fikih tentang produk ini.
Bentuk Dana Akad Talangan Haji.
Seseorang yang ingin mendaftar haji mendatangi salah satu lembaga keuangan syariah lalu mendaftarkan diri untuk haji dengan membuka rekening tabungan haji, serta membayar saldo minimal Rp 500 ribu. Kemudian agar ia mendapatkan kepastian seat (kursi) untuk tahun berapa maka ia harus melunasi sebanyak Rp 20 juta. Bank dapat memberikan dana talangan dengan pilihan Rp 10 juta, Rp 15 juta, Rp 18 juta. [1]
Andai pendaftar memilih talangan Rp 18 juta berarti ia mengeluarkan dana tunai pribadinya sebesar Rp 2 juta. Dan 18 juta akan ditalangi oleh Lembaga Keuangan Syariah. Utang pendaftar ini ke lembaga keuangan syari’at (selanjutnya akan disingkat menjadi LKS) sebanyak Rp 18 juta akan dibayar secara angsuran selama satu tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak Rp 1,5 juta. Sehingga yang harus dibayar ke LKS sebanyak 19,5 juta. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank maka ia dikenakan biaya administrasi baru.
Andai pendaftar memilih talangan sebesar Rp 15 juta berarti ia mengeluarkan dana pribadinya sebesar Rp 5 juta tunai, sementara Rp 15.000.000,- akan ditalangi oleh LKS. Utang pendaftar yang berjumlah Rp 15.000.000,- akan dibayarkan ke LKS secara angsuran selama 1 tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak Rp 1,3 juta. Sehingga yang harus dibayarnya ke LKS sebanyak Rp 16,3 juta. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada LKS maka ia dikenakan biaya administrasi baru.
Andai pendaftar memilih talangan Rp 10 juta berarti ia mengeluarkan dana pribadinya sebesar Rp 10 juta tunai. Dan 10 juta akan ditalangi oleh Lembaga Keuangan syariah. Utang pendaftar in i ke LKS sebanyak Rp 10 juta akan dibayar secara angsuran selama 1 tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak Rp 1 juta. Sehingga yang harus dibayarnya ke LKS sebanyak Rp 11 juta. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank maka ia dikenakan biaya administrasi baru.
TINJAUAN FIKIH
Jika diperhatikan secara seksama, maka didapati bahwa dalam produk dana talangan haji ini ada dua akad yang digabung dalam sebuah produk. Kedua akad tersebut adalah akad qardh (pinjam meminjam) dalam bentuk pemberian talangan dana haji dari pihak bank kepada pendaftar haji. Akad yang kedua adalah ijarah (jual beli jasa) dalam bentuk ujrah (fee administrasi yang diberikan oleh pendaftar haji sebagai pihak terhutang kepada LKS atau bank sebagai pemberi pinjaman). Menggabungkan akad qardh dengan ijarah telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
Tidak halal menggabungkan akan pinjaman dan akad jual beli. [HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah]
Dan akad ijarah termasuk akad jual-beli yaitu jual-beli jasa.
Dengan demikian, produk dana talangan haji ini bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas karena dalam produk tersebut digabungkan dua akad tersebut. Alasan lainnya, akad ijarah ini bisa dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman untuk mengambil laba dari pinjaman yang diberikan sehingga termasuk dalam larangan pinjaman yang mendatangkan manfaat (keuntungan).
Namun bila pintu pengambilan keuntungan ini dapat ditutup rapat maka bisa saja digunakan sebagaimana difatwakan oleh berbagai lembaga fikih Nasional dan Internasional. Sebagaimana yang dinyatakan dalam fatwa DSN yang membolehkan mengambil biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan dalam jumlah tetap dan bukan berdasarkan besarnya pinjaman.
Namun ternyata fatwa tersebut tidak dijalankan pada praktek yang dijelaskan sebelumnya, dimana besarnya biaya administrasi bervariasi berdasarkan besarnya pinjaman yang diberikan oleh pihak bank. Ini jelas-jelas bahwa pihak bank tidak sekedar menarik biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan akan tetapi di sana telah dimasukkan laba dari pinjaman. Maka jelas ini hukumnya termasuk riba.
Jika dilihat dari persentase besarnya biaya adminstrasi ini, yaitu sekitar 10 % dari besarnya pinjaman, ini hampir sama dengan bunga pinjaman yang ditarik oleh bank konvensional.
HIMBAUAN
1. Untuk lembaga keuangan syariah agar menerapkan fatwa DSN dan tidak keluar dari fatwa, yaitu menarik biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan dengan besaran biaya tetap, tidak berdasarkan besarnya pinjaman. Jika ini dilanggar, maka akan menyebabkan terjatuh ke dalam praktik riba.
2. Untuk DSN, selain mengeluarkan fatwa diharapkan dapat memberikan sanksi bagi lembaga-lembaga yang menerapkan produk tidak sesuai dengan yang difatwakan melalui Dewan Pengawas Syariah yang terdapat di setiap bank syariah.
3. Untuk masyarakat yang mendaftar haji jangan sampai terjebak dalam produk ini karena mengandung syubhat riba yang berakibat terhadap kemabruran hajinya karena berangkat menggunakan harta yang diperoleh dengan cara riba. Hendaklah ia membayar tunai sebanyak Rp 20 juta agar bisa mendapatkan kepastian seat (nomor urut) untuk tahun keberangkatan, dan jangan menggunakan dana talangan bank.
Bagi yang telah terlanjur, maka ingatlah firman Allah :
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [ Al-Baqarah/2:275].
Dan hendaklah ia berusaha sekuat tenaga untuk menutupi sisa talangan secepatnya. Semoga Allah Azza wa Jalla menerima ibadah haji umat Islam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Deskripsi ini berdasarkan penelitian sdri. Nur uyun dalam skripsinya yang diajukan ke UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan judul, “analisis Manajemen pembiayaan dana talangan haji pada PT. Bank syariah Mandiri cabang Malang.”
Tanya :
Ustadz, bagaimana hukumnya pembiayaan talangan haji?
Jawab (Oleh: K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi )
Pembiayaan talangan haji adalah pinjaman (qardh) dari bank syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi (seat) haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Dana talangan ini dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Atas jasa peminjaman dana talangan ini, bank syariah memperoleh imbalan (fee/ujrah) yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
Dasar fikihnya adalah akad qardh wa ijarah, sesuai Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang biaya pengurusan haji oleh LKS (lembaga keuangan syariah). Jadi akad qardh wa ijarah adalah gabungan dua akad, yaitu akad qardh (pinjaman) dengan akad ijarah (jasa), yaitu jasa LKS memberikan pinjaman kepada nasabah. Dalil utama fatwa DSN ini antara lain dalil yang membolehkan ijarah (seperti QS Al-Qashash [28]:26) dan dalil yang membolehkan meminjam uang (qardh) (seperti QS Al-Baqarah [2]:282).
Menurut kami, akad qardh wa ijarah tidak sah menjadi dasar pembiayaan talangan haji, karena : Pertama, dalil yang digunakan tak sesuai untuk membolehkan akad qardh wa ijarah. Sebab dalil yang ada hanya membolehkan qardh dan ijarah secara terpisah. Tak ada satupun dalil yang membolehkan qardh dan ijarah secara bersamaan dalam satu akad.
Kedua, penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya tidak boleh. Memang sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Ibnu Taimiyah (ulama Hana-bilah) dan Imam Asyhab (ulama Malikiyah). Namun yang rajih adalah pendapat yang tidak membolehkan, yakni pendapat jumhur ulama empat mazhab, yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah. (Imam Sarakhsi, Al-Mabsuth, 13/16; Hasyiah al-Dasuqi 'Ala Al-Syarh al-Kabir, 3/66; Imam Nawawi, Al-Majmu', 9/230; Al-Syarh al-Kabir, 11/230; M. Abdul Aziz Hasan Zaid, Al-Ijarah Baina Al-Fiqh al-Islami wa al-Tathbiq al-Mu'ashir, hal. 45).
Ketiga, menurut ulama yang membolehkan peng-gabungan dua akad pun, penggabungan qardh dan ijarah termasuk akad yang tak dibolehkan. (Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hal. 24).
Keempat, akad qardh wa ijarah tidak memenuhi syarat ijarah. Sebab dalam akad ijarah, disyaratkan obyek akadnya bukan jasa yang diharamkan. (M. Abdul Aziz Hasan Zaid, ibid., hal. 17; Taqiyuddin Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal.93).
Dalam akad qardh wa ijarah, obyek akadnya adalah jasa qardh dengan mensyaratkan tambahan imbalan. Ini tidak boleh, sebab setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Kaidah fikih menyebutkan : Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf. (Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat). (M. Sa'id Burnu, Mausu'ah al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 8/484).
Kesimpulannya, pembiayaan talangan haji hukumnya haram. Sebab fatwa DSN tentang akad qardh wa ijarah yang mendasarinya tidak sah secara syar'i. Dengan kata lain, fatwa DSN mengenai qardh wa ijarah menurut kami keliru dan tidak halal diamalkan. Wallahu a'lam. sumber : Media Ummat
Kondisi seperti ini terjadi akibat sistem setoran haji yang dibuat oleh pemerintah cq.Departemen Agama dengan membuka sistem setoran secara online kapan saja ( SISKOHAT). Dampaknya adalah orang berlomba-lomba mencari dana talangan haji, padahal sesungguhnya banyak dari mereka yang menggunakan sistem dana talangan haji ini sifatnya memaksakan diri. bahkan ada yang termasuk belum dikatakan mampu. Sistem ini sangat Bathil yang menimbulkan banyak mudharat ketimbang manfaat. Belum lagi dana yang tersimpan selama calon haji menunggu giliran berangkat, untuk Palembang saja posisi bulan April 2011 ini jika baru mendaftar di bulan ini maka kemungkinan akan berangkat pada tahun 2018. Coba Anda bayangkan setoran 25 juta rupiah yang mengendap di rekening Departemen Agama jika dikalikan dengan jutaan calon jamaah yang menyetor berapa potensi penyalahgunaannya. Padahal kita ketahui pada saat pelunasan calon jamaah masih dibebankan dengan kurs dollar yang dipakai pemerintah belum lagi tambahan biaya lain. Yang lebih miris lagi layanan haji dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan kalau boleh dikatakan terus mengalami kemunduran.
Semoga suatu saat nanti negara ini bisa dikelola oleh orang-orang yang amanah, sehingga tamu-tamu Allah dapat menunaikan ibadah haji sesuai dengan rambu-rambu syariah.